foto

foto

Jumat, 11 Desember 2015

TARIAN CACI MANGGARAIwww.komodotur.com
 Caci adalah Tari Perang sekaligus Permainan Rakyat antara sepasang penari laki-laki yang bertarung dengan Cambuk(larik) dan Perisai(ngiling) di Manggarai,Flores NTT. Penari yang bersenjatakan cambuk (larik) bertindak sebagai penyerang dan seorang lainnya bertahan dengan menggunakan perisai (ngiling). Tari ini dimainkan saat syukuran musim panen (hang woja) dan ritual tahun baru (penti) , upacara pembukaan lahan atau upacara adat besar lainnya, serta dipentaskan untuk menyambut tamu penting.

Seorang laki-laki yang berperan sebagai pemukul (disebut paki) berusaha memecut lawan dengan pecut yang dibuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Pegangan pecut juga dibuat dari lilitan kulit kerbau. Di ujung pecut dipasang kulit kerbau tipis dan sudah kering dan keras yang disebut lempa atau lidi enau yang masih hijau (disebut pori). Laki-laki yang berperan sebagai penangkis (disebutta’ang), menangkis lecutan pecut lawan dengan perisai yang disebut nggiling dan busur dari bambu berjalin rotan yang disebut agangatau tereng. Perisai berbentuk bundar, berlapis kulit kerbau yang sudah dikeringkan. Perisai dipegang dengan sebelah tangan, sementara sebelah tangan lainnya memegang busur penangkis.
WAE REBO TRADITIONALVILLAGE (kampung tradisional wae rebo)

Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng, ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.Menurut cerita dari mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap disini. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.www.komodotur.com
perjalanan ke wae rebo akan lebih mudah jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo.
Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo. Selama perjalanan panjang menuju desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita bisa melihat pulau Mules dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil. Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk memudahkan para pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang sekiranya akan dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah lokasi yang menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama perjalanan melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat yang sedang mengambil hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar, kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan, terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya warga mencari sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa menit setelah melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang kampung Wae Rebo.
Merangkul Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha untuk melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh salah satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu tersebut meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan kepada pengunjung ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo. Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk para wanita tidak diperkenankan memakaitank top atau hot pants, selain karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman, bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri. Hal lain yang perlu dihindari adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung juga diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo. Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu dikaitkan dengan komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan untuk keperluan biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang mengembangkan berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini, seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang biasanya dilakukan di depan rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung akan menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah mendunia. Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama dan saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah mendunia adalah rumah adat yang dilestarikan di kampung ini, Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’. Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah, mirip dengan honai di Papua, didukung dengan sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di tengah rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan berpusat di tengah diyakini melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan “neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu yang menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu rumah bisa ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep arsitektur inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini pada tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat. Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebutlobo, sebuah loteng yang berfungsi menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga disebut lentar, yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi dan kacang-kacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa rae yang merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kodeyang berfungsi untuk menyimpan langkar, sebuah anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan digunakan untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya masih ada dalam setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru Niang yang rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan penghargaan Award of Excellence pada acara UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 di Bangkok. Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh tahun. Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 11 negara di Asia Pasifik, antara lalin sistem irigasi bersejarah di India, kompleks Zhizhusi di Cina dan Masjid Khilingrong di Pakistan. Dalam keterangan resmi penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru Niang terletak pada keberhasilannya.www.komodotur.com
Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur yang masih kaya dengan potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak eksplorasi budaya dan wisata disini. Bukan untuk melakukan eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena dengan adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata akan semakin baik, akses jalan salah satunya, faktor transportasi juga perlu mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak heran kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata Budaya Utama di Flores Barat.

 Untuk Teman Teman yang Ingin Melakukan Perjalanan Ke Wae Rebo Silahkan join dengan kami di www.komodotur.com