Wae Rebo terletak di Barat Daya kota Ruteng,
ibukota Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur.Menurut cerita dari
mulut ke mulut yang belum bisa dipastikan kebenarannya, diketahui bahwa sekitar
seribu tahun yang lalu, orang Minangkabau datang ke Wae Rebo dan menetap
disini. Mereka inilah yang menjadi cikal bakal dan nenek moyang orang Wae Rebo.www.komodotur.com
perjalanan ke wae rebo akan lebih mudah jika perjalanan dimulai dari Labuan Bajo.
Dari beberapa sumber, kebanyakan pengunjung
mengambil rute memutar dari Ruteng sebelum menuju desa Denge yang merupakan
desa terakhir sebelum menuju kampung Wae Rebo. Selama perjalanan panjang menuju
desa Denge kita akan disuguhkan pemandangan yang luar biasa, hamparan sawah
dari tanah Flores yang subur, jalanan bukit yang menanjak dan pemandangan
pesisir pantai yang menggoda.
Denge merupakan desa pesisir yang berada di tepi pantai. Dari Denge kita
bisa melihat pulau Mules dengan sebuah puncak yang terletak di tengah pulau
tersebut. Denge berperan sebagai desa transit bagi para wisatawan sebelum
melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo. Disini sudah ada beberapa homestay yang
dikelola oleh warga Denge maupun Wae Rebo yang ‘turun gunung’. Biasanya sebelum
melanjutkan perjalanan ke Wae Rebo, para wisatawan akan beristirahat di Denge
setelah perjalanan panjang dari Labuan Bajo atau Ruteng. Desa Denge adalah desa
terakhir yang dilalui oleh kendaraan bermotor, baik itu motor maupun mobil.
Untuk mencapai Wae Rebo, wisatawan harus berjalan kaki. Untuk memudahkan para
pengunjung, banyak pemuda desa Denge maupun Wae Rebo yang bersedia menjadi
tenaga porter, membantu pengunjung membawa perlengkapan mereka pada saat
trekking menuju Wae Rebo.
Perjalanan akan dimulai dari Denge denga jarak tempuh ± 9 km yang bisa
ditempuh dalam waktu 2 – 4 jam, sangat tergantung kondisi fisik masing-masing
pengunjung. Karena letak desa Denge persis di tepi pantai, bisa dikatakan
perjalanan ke Wae Rebo dimulai dari titik 0 m dpl dan mendaki pengunungan
hingga ketinggian 1.200 m dpl. Rute awal merupakan jalanan tanah lebar yang
sekiranya akan dibuat jalan aspal.
Perjalanan akan melintasi kawasan hutan yang rimbun. Pada saat memasuki
hutan, pengunjung akan disambut oleh riuhnya suara kicauan burung. Hutan di
wilayah ini merupakan area umum, yaitu sebuah lokasi yang
menjadi tempat pertemuan setiap warga masyarakat. Tidak heran jika selama
perjalanan melintasi hutan, kita akan sering bertemu dengan warga masyarakat
yang sedang mengambil hasil hutan, mengantarkan pesan kepada keluarga di Kombo
atau Denge, atau hanya sekedar berkunjung ke sanak keluarga, dan lain
sebagainya.
Rute berikutnya adalah jalur memutar melewati perbukitan yang rawan
longsor dan jalanan semakin menyempit. Jalur dengan variasi tingkat kesulitan
ini menjadi tantangan tersendiri bagi para pengunjung. Jalur terberat adalah
jalur antara Denge hingga Wae Lumba. Jalur ini berkarakter bebatuan yang besar,
kerap menanjak dan terkadang licin. Selain itu kita akan melewati sebuah sungai
kecil sebelum tiba di Wae Lumba. Jalur Wae Lumba ke Poco Roko juga menegangkan,
terutama untuk orang yang takut ketinggian. Pengunjung akan menyusuri jalur
yang berada di bibir jurang. Poco Roko merupakan titik tertinggi dan lokasi
dimana masyarakat bersentuhan dengan modernisasi, disini biasanya warga mencari
sinyal telepon. Dengan adanya sinyal telepon berarti komunikasi dengan dunia
luar bisa terjadi. Salah seorang pengunjung mengaku pernah melakukan update
status di salah satu jejaring sosial pada saat berada di Poco Roko. Beberapa
menit setelah melalui Poco Roko, kita akan sampai di Ponto Nao. Disini terdapat
sebuah pos pemantau dengan atap yang terbuat dari ijuk, sama seperti bahan yang
digunakan untuk membuat atap Mbaru Niang. Dari Ponto Nao ini kita bisa melihat
di kejauhan sebuah dusun dengan bangunan-bangunan berbentuk kerucut yang
mengepulkan asap. Itulah kampung diatas awan, Wae Rebo. Jalur perjalanan akan
menurun dengan hamparan tanaman kopi di sepanjang jalan hingga tiba di gerbang
kampung Wae Rebo.
Merangkul
Kearifan Lokal
Wae Rebo adalah kampung adat Manggarai Tua yang berusaha untuk
melestarikan kearifan lokal sebagai salah satu kekayaan budaya Indonesia. Salah
satu yang dilakukan adalah ritual Pa’u Wae Lu’u. Ritual ini dipimpin oleh salah
satu tetua adat Wae Rebo yang bertujuan meminta ijin dan perlindungan kepada
roh leluhur terhadap tamu yang berkunjung dan tinggal di Wae Rebo hingga tamu
tersebut meninggalkan kampung ini. Tidak hanya itu, ritual ini juga ditujukan
kepada pengunjung ketika sudah sampai di tempat asal mereka. Bagi masyarakat
Wae Rebo, wisatawan yang datang dianggap sebagai saudara yang sedang pulang
kampung. Sebelum selesai ritual ini, para tamu tidak diperkenankan untuk
melakukan kegiatan apapun termasuk mengambil foto.
Tetua adat Wae Rebo kemudian akan melakukan briefing kecil
tentang beberapa hal yang tabu dilakukan selama para tamu berada di Wae Rebo.
Beberapa hal tersebut antara lain adalah memakai pakaian sopan, artinya untuk
para wanita tidak diperkenankan memakaitank top atau hot pants, selain
karena udara dingin, hal ini akan membuat warga masyarakat menjadi risih. Hal
lain yang perlu mendapat perhatian adalah tidak menunjukkan kemesraan, baik itu
dengan lawan jenis maupun sejenis, seperti berpegangan tangan, berpelukan atau berciuman,
bahkan untuk yang sudah berstatus suami istri. Hal lain yang perlu dihindari
adalah mengumpat atau memaki selama berada di kampung ini. Pengunjung juga
diharuskan melepaskan alas kaki ketika masuk ke dalam rumah.
Kearifan lokal lain yang perlu mendapat perhatian adalah tentang
penggunaan uang administrasi bagi wisatawan yang masuk ke kampung Wae Rebo.
Memang ada kesan bahwa biaya administrasi selalu dikaitkan dengan
komersialisasi budaya, uangnya dikemanakan, dan pertanyaan lainnya yang selalu dikaitkan
dengan korupsi. Namun uang administrasi di Wae Rebo ini sudah diatur menurut
kearifan lokal setempat. Pengelolaan uang ini dipercayakan kepada Lembaga
Pariwisata Wae Rebo. Uang administrasi yang didapat dari wisatawan digunakan
untuk keperluan biaya bahan makanan dan memasak makanan yang dibuat oleh para
ibu, pemeliharaan infrastruktur kampung, bahan bakar generator set dan sumber
air.
Sehari-hari warga Wae Rebo merupakan petani kopi dan pengrajin kain tenun cura. Saat ini warga Wae Rebo sedang mengembangkan
berkebun sayur mayur. Untuk wisatawan yang datang, bisa mengikuti kegiatan ini,
seperti ikut menumbuk kopi dengan ibu-ibu, memetik kopi dari kebun kopi dengan
para lelaki bahkan bisa melihat ibu-ibu menenun kerajinan kain cura yang
biasanya dilakukan di depan rumah. Para wisatawan dapat terlibat langsung dalam
kegiatan sehari-hari masyarakat Wae Rebo. Saat malam tiba pengunjung akan
menginap di Mbaru Niang, rumah adat Wae Rebo yang namanya sudah mendunia.
Dengan beralaskan tikar yang dianyam dari daun pandan, kita akan bercengkerama
dan saling berbagi cerita tentang pengalaman hidup keluarga besar di Wae Rebo.
Mbaru Niang
Nah, salah satu daya tarik kampung ini yang sudah mendunia adalah rumah
adat yang dilestarikan di kampung ini, Mbaru Niang. Dalam bahasa Manggarai,
Mbaru Niang berarti ‘rumah drum’. Bangunan berbentuk kerucut ini dibangun
secara tradisional. Atap besar terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah,
mirip dengan honai di Papua, didukung dengan
sebuah tiang kayu pusat. Didalamnya terdapat perapian yang terletak di tengah
rumah. Disebut rumah drum karena salah satu rumah digunakan untuk menyimpan
drum pusaka suci dan gong yang merupakan media sakral klan untuk berkomunikasi
dengan nenek moyang.
Bentuk bangunan Mbaru Niang yang berbentuk kerucut, melingkar dan
berpusat di tengah diyakini melambangkan persaudaraan yang tidak pernah putus
di Wae Rebo dengan leluhur mereka sebagai titik pusatnya. Pada kenyataannya
memang warga Wae Rebo tidak melupakan leluhurnya seperti yang tertuang dalam ungkapan
“neka hemong kuni agu kalo” yang bermakna “jangan lupakan tanah kelahiran”.
Struktur Mbaru Niang cukup tinggi, sekitar 15 meter, yang keseluruhannya
ditutup dengan ijuk. Didalamnya memiliki lima tingkat yang terbuat dari kayu
worok dan bambu yang menggunakan rotan untuk mengikat konstruksi sebagai ganti
paku. Mbaru Niang merupakan bangunan komunal, yang artinya satu rumah bisa
ditempati enam sampai delapan keluarga dalam satu atap besar. Konsep arsitektur
inilah yang membuat Yori Antar dan kawan-kawan penasaran dan mencari tempat ini
pada tahun 2008. Mbaru Niang sendiri dibuat dengan struktur lima tingkat.
Masing-masing tingkat memiliki nama dan fungsinya masing-masing. Tingkat
pertama disebut lutur yang berarti tenda, lutur berfungsi
sebagai tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga. Tingkat kedua disebutlobo, sebuah loteng yang berfungsi
menyimpan bahan makanan dan barang-barang keperluan sehari-hari. Tingkat ketiga
disebut lentar,
yang berfungsi untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti jagung, padi
dan kacang-kacangan. Tingkat keempat dinamakan lempa
rae yang
merupakan tempat yang disediakan untuk menyimpan stok pangan jika terjadi
kekeringan. Tingkat terakhir dinamakan hekang kodeyang berfungsi untuk
menyimpan langkar, sebuah
anyaman bambu berberntuk persegi untuk menyimpan sesajian yang akan digunakan
untuk persembahan kepada leluhur. Semua tingkat dan fungsinya masih ada dalam
setiap Mbaru Niang dan terus dipertahankan hingga saat ini. Jika ada Mbaru
Niang yang rusak dan butuh perbaikan, renovasi tradisional juga masih
dikerjakan oleh masyarakat Wae Rebo dalam semangat gotong royong.
Konsistensi inilah yang kemudian membuat UNESCO memberikan penghargaan
Award of Excellence pada acara UNESCO Asia-Pacific Awards tahun 2012 di
Bangkok. Penghargaan ini diberikan kepada proyek-proyek konservasi dalam
sepuluh tahun terakhir untuk bangunan yang telah berumur lebih dari lima puluh
tahun. Mbaru Niang berhasil mengalahkan 42 kendidat lainnya dari 11 negara di
Asia Pasifik, antara lalin sistem irigasi bersejarah di India, kompleks
Zhizhusi di Cina dan Masjid Khilingrong di Pakistan. Dalam keterangan resmi
penghargaan UNESCO disebutkan, keunggulan proyek pembangunan kembali Mbaru
Niang terletak pada keberhasilannya.www.komodotur.com
Sama seperti daerah di Indonesia bagian Timur yang masih kaya dengan
potensi budaya, kita masih bisa melakukan banyak eksplorasi budaya dan wisata
disini. Bukan untuk melakukan eksploitasi budaya Indonesia, namun semata karena
dengan adanya dukungan pariwisata, kesejahteraan masyarakat di lokasi wisata
akan semakin baik, akses jalan salah satunya, faktor transportasi juga perlu
mendapat perhatian dari semua pihak terutama untuk infrastrukturnya. Tidak
heran kini Wae Rebo mendapat dukungan untuk menjadi Atraksi Wisata Budaya Utama
di Flores Barat.
Untuk Teman Teman yang Ingin Melakukan Perjalanan Ke Wae Rebo Silahkan join dengan kami di www.komodotur.com
blognya keren dapat menambah pengetahuan saya thanks...
BalasHapus