SONGKE (Kain tenunan Manggarai)
Tenunan berupa Lipa atau Towe Songke tidak bisa dipisahkan dari keseharian
Orang Manggarai. Towe atau Lipa dalam bahasa
setempat dikenakan oleh laki-laki dan perempuan, baik di rumah maupun saat
menghadiri ritual adat, ke Gereja, ketika mandi dan tidur, saat kelahiran dan
pernikahan, dan untuk membungkus yang telah meninggal.
Songke juga bisa menjadi pemberian saat acara masuk minta(lipa widang)
dari orang tua kepada bakal keluarga baru. Dan dari fungsinya Lipa Songke kerap
kali dianggap sebagai “wengko weki,” yang melindungi tubuh. Boleh
dibilang, Songke itu menjadi jejak budaya Orang Manggarai.
Saat ini, di kota-kota pusat administrasi wilayah Manggarai Raya
seperti Ruteng, Borong dan Labuan Bajo, para pegawai pemerintah
diwajibkan mengenakan Songke dalam bentuk jas atau kemeja sebagai salah satu
usaha menghargai dan melestarikan tenun dan motif etnik setempat.
Antropolog dari London School of Economics, Chaterine Allerton
dalam penelitiannya mencatat, tradisi tekstil tradisional yang dibuat
menggunakan peralatan sederhana dan kerja tangan(hand woven) kerap kali
dihubungkan dengan klasifikasi sosial dan kosmologis tertentu, juga
dianggap sebagai karya seni dengan sistem rancangan yang mengandung nilai
sejarah. Tenun juga dipakai sebagai perlengkapan dalam ritual penguatan sistem
politik dan simbol keibuan.
Demikian pun Songke Manggarai. Tenunan ini ditempatkan secara istimewa
dalam ritual adat, misalnya menjadi kain yang wajib dipakai saatPenti(syukur
tahunan), upacara setelah kelahiran(cear cumpe), upacara pernikahan(wagal)
dan upacara kematian.
Di sisi lain, Songke juga menggambarkan kebanggaan sosial,pasalnya
mengenakan tenunan ini membawa nilai rasa tersendiri. Ada yang kurang kala
tidak mengenakan Songke saat upacara adat. Produk-produk turunan tenunan Songke
juga dijadikan topi Manggarai dan selendang yang digunakan saat menarikan Sae
dan Caci.
Konon, tradisi tenun dibawa
ke NTT oleh pedagang Islam kira-kira pada abad ke-16. Lipa Songke memiliki
kemiripan cara pembuatannya dengan songket Sumatra. Karakteristik tenunan
songke itu lain daripada tenunan ikat yang berasal dari Flores Timur dan Pulau
Sumba. Warna dasar kain Lipa Songke hitam, sedang motifnya
berwarna-warni.
Khusus Manggarai Selatan, terdapat dua jenis tenun yang dikenal
sebagai Lipa Surak/Lipa Todo dan Lipa songke yang dianggap tenunan
bernilai tinggi. Bernilai tinggi karena harga dan pemaknaan budaya terhadap
Songke itu sendiri.
Motif Songke cenderung dikaitkan dengan kampung tertentu, misalnya ada
tenun khas Cibal, Munting, Ruis, Todo, dan juga daerah-daerah lain. Tidak semua
kampung memiliki tradisi tenun, karena itu kampung-kampung yang menghasilkan
tenun menjual hasil kerjanya kepada kampung lain. Konon, ketika seorang wanita
menikah ia diperkenalkan dengan motif-motif baru di kampung suaminya.
Kegiatan menenun(dedang) rupanya tumbuh dalam budaya laki-laki(patriarchy).
Masyarakat Manggarai tradisional yang partiarkal itu menganggap perempuan
sebagai Ata Pe’ang atau orang luar, sedang laki-laki
disebut Ata One atau orang dalam.
Pandangan ata pe’ang dan ata one yang sudah terucap sejak saat
setelah seorang lahir ini seolah-olah membuat kedudukan perempuan di bawah
kuasa laki-laki. Secara tradisional, laki-laki itu pihak penerima warisan dan
pengambil keputusan. Sedang, perempuan dianggap orang luar karena akan
meninggalkan orang tuanya setelah selesai menikah.
Dedang pun dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan dalam konteks
pertanian subsisten dimana pekerjaan bidang pertanian merupakan kegiatan utama
yang dilakukan sebagian besar laki-laki. Sedang perempuan bekerja di rumah,
mengurus anak-anak, memasak dan menenun.
Praktisi Tenun Maria Moe kepada blogger mengatakan, motif-motif yang
terajut dalam kain Songke dibentuk melalui pemaknaan historis yang berkaitan
erat dengan kebiasaan, kepercayaan dan lingkungan alam tenun tempat itu
berkembang.
Misalnya motif Mateng atau Rumbit merupakan pola yang menggambarkan
anting-anting yang dipakai di Kerajaan Todo tempo dulu. Sedang, motif Wela
Runus memiliki kisah tertentu dalam sejarah Dalu Ndoso dan Dalu Todo. Motif
lain seperti Wela Kaweng diinspirasi bunga imut beraneka warna.
“Penempatan motif itu ada maknanya, sehingga tidak asal ditempatkan,”
katanya.
Misalnya, motif Mata Manuk(mata ayam) sebenarnya menggambarkan proses
ritual doa adat yang selalu menggunakan ayam sebagai hewan korban. Motif lain
seperti Rempa Teke(kaki tokek) dianggap sebagai simbol kesetian dalam
pernikahan(kawing). Kalau sudah memiliki pasangan tidak boleh berpindah ke
perempuan atau lak-laki lain.
Songke, lanjutnya, terkait erat dengan sejarah kerajaan dan Dalu. Karena
itu songke acapkali melambangkan keagungan, wibawa sosial dan barang mewah
dalam masyarakat tradisional. Misalnya, masa Kerajaan Todo, Songke dan cara
pemakaiannya menunjukan strata sosial.
Tempo doeloe perempuan Manggarai diperbolehkan menenun
setelah mendapat menstruasi pertama. Kebanyakan keterampilan ini dipelajari
dari orang dekat seperti ibu atau kakak perempuan yang sudah tahu menenun. Dulu
aktivitas ini dianggap pengisi waktu senggang saja.
Dibutuhkan waktu enam bulan untuk membuat benang, mencelup benang dengan
pewarnaannya. Musim tenun dimulai dari Mei–Oktober seusai panen, karena pada
musim panen kaum perempuan sibuk bekerja di kebun. Kalau mereka bekerja lebih
cepat, dua lembar kain dapat dihasilkan dalam setahun. Kain itu biasa dipakai
sendiri atau digunakan saat acara-acara adat.
Situasi berubah. Songke tidak hanya ditenun untuk kebutuhan sendiri dan
acara adat, tetapi juga dijual ke pasar. Hamilton(1994:52) mencatat, ada dua
cara penjualan tekstil Flores umumnya, tenun yang kualitasnya rendah dijual di
pasar dan yang kualitasnya tinggi seperti yang terbuat dari kapas asli dan
benang sutra dijual kepada langganan-langganan khusus.
Ulla Keech-Marx, peneliti dari The Australian National
University membedakan tiga kelompok pembeli Songke Manggarai. Pertama, kelompok
kelas menengah di kota pusat administrasi yang membeli songke sebagai fashion
item untuk keperluan sehari-hari. Kedua, orang Manggarai di kampung
yang bukan daerah tenun memerlukan Songke untuk upacara adat. Ketiga, wisatawan
yang membeli Songke sebagai oleh-oleh sepulang berlibur.
Aktivitas tenun saat ini tidak hanya terkait dengan kebutuhan sehari-hari
dan acara adat tetapi juga untuk kepentingan perdagangan. Di satu sisi, ini
perkembangan ini penting untuk kesejahteraan para penenun dan pengetahuan
menenun akan diwariskan terus menerus. Namun di sisi lain, pengetahuan filosofi
dan penempatan motif akan hilang manakala tidak ada upaya memperdalamnya.
Praktisi Tenun Songke Maria Moe pun mengakui, saat ini sebagian besar
penenun Manggarai sekarang tidak mengerti makna motif khas Manggarai dan enggan
mempelajarinya. Mereka hanya tertarik membuat tenunan dengan motif yang cepat
laku di pasar.
Pengetahuan penggunaan benang berkualitas dengan pewarnaan tradisional
tidak lagi dilakukan. Alat pembuat benang tradisional pun sudah dijadikan kayu
bakar mengingat prosesnya yang memakan waktu dan rumit. Di sisi lain, harus
diakui kalangan muda enggan melirik pekerjaan menenun sebagai aktivitas yang
bisa memberi kesejahteraan ekonomis.
Kualitas tenun Manggarai saat ini kurang diperhatikan misalnya menenun
dengan menggunakan benang berkualitas rendah produksi pabrik. Benang-benang
juga memakai celupan kimia, bukan dari daun-daun tradisional yang acapkali
mudah luntur. Dengan alasan cepat laku, kualitas tenun kurang diperhatikan asal
menghasilkan banyak uang banyak penenun tidak peduli lagi kualitas tenun
mereka.
Pemerintah tiga Kabupaten, Manggarai, Mabar dan Matim memang sedang gencar
menyelamatkan tenun Songke dengan pengenaanya dalam formalitas birokratis,
namun hal itu tidak diikuti dengan pelestarian makna motif dan pemeliharaan
kualitas melalui pembinaan penenun secara berkelanjutan. Kualitas benang yang
rendah dan motif yang kurang diperhatikan membuat tenun ini kurang keluar dari
tempurung kemanggaraiannya.www.komodotur.com
Dalam kancah pasar modern,
Songke perlu dimaknai secara baru, selain sebagai benda budaya setempat, Songke
harus menjadi milik publik. Karena itu, penting untuk melakukan inovasi seperti
pembuatan produk-produk turunan seperti tas, syal, sarung bantal, dan
sebagainya. Dengan demikian Songke tidak hanya menjadi jejak budaya Manggarai
tetapi juga jejak budaya nasional.
.