foto

foto

Sabtu, 09 Januari 2016

 Stalaktit dan Stalagmit
Jika masuk ke dalam sebuah gua, biasanya kita menemukan stalaktit dan stalagmit. Apa itu stalaktit dan stalagmit? 
Di dalam sebuah gua, kebanyakan langit-langit dan lantai gua terdapat batu-batu yang runcing. Nah, bagian yang runcing-runcing itu dinamakanstalaktit dan stalagmit .
Stalaktit  adalah sejenis mineral sekunder (speleothem ) yang menggantung di langit-langit gua kapur. inilah yang sering kita lihat ada di langit-langit atas gua. Sedangkan Stalagmit  adalah batuan yang terbentuk di lantai gua yang berasal dari tetesan air di langit-langit gua.Stalaktit dan stalagmit ini masuk dalam jenis batu tetes (dripstone ).
Stalaktit dan stalagmit terbentuk karena proses pelarutan air di daerah kapur secara terus-menerus. Larutan ini mengalir melalui bebatuan sampai mencapai sebuah tepi. Jika tepi ini berada di atap gua, maka larutan akan menetes ke bawah.
Ketika larutan bereaksi dengan udara, terjadi pengendapan membentuk batuan runcing. Stalaktit  membentuk batuan runcing ke bawah, sedangkan stalagmit membentuk batuan runcing ke atas.

Dalam setahun, stalaktit dan stalagmit akan tumbuh rata-rata sebanyak 0,13 mm (0,005 inci). Saat mengalami pertumbuhan cepat, stalaktit bisa tumbuh 3 mm (0,12 inci) per tahun. 

Kamis, 07 Januari 2016

Hai..terimakasih buat para pengunjung blog ini..
Ada info penting ni...bagi yang ingin atau yang punya teman ingin melakukan trip ke Labuan Bajo dan Pulau komodo,cek paketnya sekarang dijamin murah dan aman join us..www.komodotur.com

Rabu, 06 Januari 2016




SONGKE (Kain tenunan Manggarai)
Tenunan berupa Lipa atau Towe Songke tidak bisa dipisahkan dari keseharian Orang Manggarai. Towe atau Lipa dalam bahasa setempat dikenakan oleh laki-laki dan perempuan, baik di rumah maupun saat menghadiri ritual adat, ke Gereja, ketika mandi dan tidur, saat kelahiran dan pernikahan, dan untuk membungkus yang telah meninggal.

Songke juga bisa menjadi pemberian saat acara masuk minta(lipa widang) dari orang tua kepada bakal keluarga baru. Dan dari fungsinya Lipa Songke kerap kali dianggap sebagai “wengko weki,” yang melindungi tubuh. Boleh dibilang, Songke itu menjadi jejak budaya Orang Manggarai.

Saat ini, di kota-kota pusat administrasi wilayah Manggarai Raya seperti  Ruteng, Borong dan Labuan Bajo, para pegawai pemerintah diwajibkan mengenakan Songke dalam bentuk jas atau kemeja sebagai salah satu usaha menghargai dan melestarikan tenun dan motif etnik setempat.


Antropolog dari London School of Economics, Chaterine Allerton dalam penelitiannya mencatat, tradisi tekstil tradisional yang dibuat menggunakan peralatan sederhana dan kerja tangan(hand woven) kerap kali dihubungkan  dengan klasifikasi sosial dan kosmologis tertentu, juga dianggap sebagai karya seni dengan sistem rancangan yang mengandung nilai sejarah. Tenun juga dipakai sebagai perlengkapan dalam ritual penguatan sistem politik dan simbol  keibuan.

Demikian pun Songke Manggarai. Tenunan ini ditempatkan secara istimewa dalam ritual adat, misalnya menjadi kain yang wajib dipakai saatPenti(syukur tahunan), upacara setelah kelahiran(cear cumpe), upacara pernikahan(wagal) dan upacara kematian. 
Di sisi lain, Songke juga menggambarkan kebanggaan sosial,pasalnya mengenakan tenunan ini membawa nilai rasa tersendiri. Ada yang kurang kala tidak mengenakan Songke saat upacara adat. Produk-produk turunan tenunan Songke juga dijadikan topi Manggarai dan selendang yang digunakan saat menarikan Sae dan Caci.


Konon, tradisi tenun dibawa ke NTT oleh pedagang Islam kira-kira pada abad ke-16. Lipa Songke memiliki kemiripan cara pembuatannya dengan songket Sumatra. Karakteristik tenunan songke itu lain daripada tenunan ikat yang berasal dari Flores Timur dan Pulau Sumba. Warna dasar kain Lipa Songke hitam, sedang motifnya berwarna-warni. 

Khusus Manggarai Selatan,  terdapat dua jenis tenun yang dikenal sebagai Lipa Surak/Lipa Todo dan Lipa songke yang dianggap  tenunan bernilai  tinggi. Bernilai tinggi karena harga dan pemaknaan budaya terhadap Songke itu sendiri.

Motif Songke cenderung dikaitkan dengan kampung tertentu, misalnya ada tenun khas Cibal, Munting, Ruis, Todo, dan juga daerah-daerah lain. Tidak semua kampung memiliki tradisi tenun, karena itu kampung-kampung yang menghasilkan tenun menjual hasil kerjanya kepada kampung lain. Konon, ketika seorang wanita menikah ia diperkenalkan dengan motif-motif  baru di kampung suaminya.


Kegiatan menenun(dedang) rupanya tumbuh dalam budaya laki-laki(patriarchy). Masyarakat Manggarai tradisional yang partiarkal itu menganggap perempuan sebagai Ata Pe’ang atau orang luar, sedang laki-laki disebut Ata One atau orang dalam.


Pandangan  ata pe’ang dan ata one yang sudah terucap sejak saat setelah seorang lahir ini seolah-olah membuat kedudukan perempuan di bawah kuasa laki-laki. Secara tradisional, laki-laki itu pihak penerima warisan dan pengambil keputusan. Sedang, perempuan dianggap orang luar karena akan meninggalkan orang tuanya setelah selesai menikah.


Dedang pun dianggap sebagai pekerjaan kaum perempuan dalam konteks pertanian subsisten dimana pekerjaan bidang pertanian merupakan kegiatan utama yang dilakukan sebagian besar laki-laki. Sedang perempuan bekerja di rumah, mengurus anak-anak, memasak dan menenun.


Praktisi Tenun Maria Moe kepada blogger mengatakan, motif-motif yang terajut dalam kain Songke dibentuk melalui pemaknaan historis yang berkaitan erat dengan kebiasaan, kepercayaan dan lingkungan alam tenun tempat itu berkembang. 

Misalnya motif Mateng atau Rumbit merupakan pola yang menggambarkan anting-anting yang dipakai di Kerajaan Todo tempo dulu. Sedang, motif Wela Runus memiliki kisah tertentu dalam sejarah Dalu Ndoso dan Dalu Todo. Motif lain seperti  Wela Kaweng diinspirasi bunga imut beraneka warna.
“Penempatan motif itu ada maknanya, sehingga tidak asal ditempatkan,” katanya. 


Misalnya, motif  Mata Manuk(mata ayam) sebenarnya menggambarkan proses ritual doa adat yang selalu menggunakan ayam sebagai hewan korban. Motif lain seperti Rempa Teke(kaki tokek) dianggap sebagai simbol kesetian dalam pernikahan(kawing). Kalau sudah memiliki pasangan tidak boleh berpindah ke perempuan atau lak-laki lain.


Songke, lanjutnya, terkait erat dengan sejarah kerajaan dan Dalu. Karena itu songke acapkali melambangkan keagungan, wibawa sosial dan barang mewah dalam masyarakat tradisional. Misalnya, masa Kerajaan Todo, Songke dan cara pemakaiannya menunjukan strata sosial.


Tempo doeloe perempuan Manggarai diperbolehkan menenun setelah mendapat menstruasi pertama. Kebanyakan keterampilan ini dipelajari dari orang dekat seperti ibu atau kakak perempuan yang sudah tahu menenun. Dulu aktivitas ini dianggap pengisi waktu senggang saja.


Dibutuhkan waktu enam bulan untuk membuat benang, mencelup benang dengan pewarnaannya. Musim tenun dimulai dari Mei–Oktober seusai panen, karena pada musim panen kaum perempuan sibuk bekerja di kebun. Kalau mereka bekerja lebih cepat, dua lembar kain dapat dihasilkan dalam setahun. Kain itu biasa dipakai sendiri atau digunakan saat acara-acara adat.


Situasi berubah. Songke tidak hanya ditenun untuk kebutuhan sendiri dan acara adat, tetapi juga dijual ke pasar. Hamilton(1994:52) mencatat, ada dua cara penjualan tekstil Flores umumnya, tenun yang kualitasnya rendah dijual di pasar dan yang kualitasnya tinggi seperti yang terbuat dari kapas asli dan benang sutra dijual kepada langganan-langganan khusus.


Ulla Keech-Marxpeneliti dari The Australian National University membedakan tiga kelompok pembeli Songke Manggarai. Pertama, kelompok kelas menengah di kota pusat administrasi yang membeli songke sebagai fashion item untuk keperluan sehari-hari. Kedua, orang Manggarai di kampung yang bukan daerah tenun memerlukan Songke untuk upacara adat. Ketiga, wisatawan yang membeli Songke sebagai oleh-oleh sepulang berlibur.


Aktivitas tenun saat ini tidak hanya terkait dengan kebutuhan sehari-hari dan acara adat tetapi juga untuk kepentingan perdagangan. Di satu sisi, ini perkembangan ini penting untuk kesejahteraan para penenun dan pengetahuan menenun akan diwariskan terus menerus. Namun di sisi lain, pengetahuan filosofi dan penempatan motif akan hilang manakala tidak ada upaya memperdalamnya.


Praktisi Tenun Songke Maria Moe pun mengakui, saat ini sebagian besar penenun Manggarai sekarang tidak mengerti makna motif khas Manggarai dan enggan mempelajarinya. Mereka hanya tertarik membuat tenunan dengan motif yang cepat laku di pasar.


Pengetahuan penggunaan benang berkualitas dengan pewarnaan tradisional tidak lagi dilakukan. Alat pembuat benang tradisional pun sudah dijadikan kayu bakar mengingat prosesnya yang memakan waktu dan rumit. Di sisi lain, harus diakui kalangan muda enggan melirik pekerjaan menenun sebagai aktivitas yang bisa memberi kesejahteraan ekonomis.


Kualitas tenun Manggarai saat ini kurang diperhatikan misalnya menenun dengan menggunakan benang berkualitas rendah produksi pabrik. Benang-benang juga memakai celupan kimia, bukan dari daun-daun tradisional yang acapkali mudah luntur. Dengan alasan cepat laku, kualitas tenun kurang diperhatikan asal menghasilkan banyak uang banyak penenun tidak peduli lagi kualitas tenun mereka.


Pemerintah tiga Kabupaten, Manggarai, Mabar dan Matim memang sedang gencar menyelamatkan tenun Songke dengan pengenaanya dalam formalitas birokratis, namun hal itu tidak diikuti dengan pelestarian makna motif dan pemeliharaan kualitas melalui pembinaan penenun secara berkelanjutan. Kualitas benang yang rendah dan motif yang kurang diperhatikan membuat tenun ini kurang keluar dari tempurung kemanggaraiannya.www.komodotur.com




Dalam kancah pasar modern, Songke perlu dimaknai secara baru, selain sebagai benda budaya setempat, Songke harus menjadi milik publik. Karena itu, penting untuk melakukan inovasi seperti pembuatan produk-produk turunan seperti tas, syal, sarung bantal, dan sebagainya. Dengan demikian Songke tidak hanya menjadi jejak budaya Manggarai tetapi juga jejak budaya nasional.